Jangan Meminta Kaya Sebelum Menjadi Saleh! Telaah Q.S. Al-‘Alaq: 6-7

 Jangan Meminta Kaya Sebelum Menjadi Saleh! Telaah Q.S. Al-‘Alaq: 6-7

https://www.merdeka.com/jateng/pengertian-qanaah-dalam-islam-ketahui-keutamaan-dan-penerapannya-kln.html


Panorama gemerlap dunia semakin menyilaukan mata. Jargon “Uang adalah segalanya dan segalanya butuh uang” massif didengungkan. Dunia dibuat seakan hanya berisi materi, kerakusan dan keserakahan.

Nampaknya tak berlebihan jika kita menggambarkan keadaan saat ini dengan perkataan filsuf Prancis Voltaire: “Quand on parle d’agent toutes les religions humaines sont les memes” (Jika berbicara tentang uang, semua manusia agamanya sama).

Di banyak kesempatan, kita sering mendengar, apa yang acapkali al-Qur’an sampaikan dari berbagai macam ayatnya bahwa hidup di dunia hanyalah sesaat, atau dalam masyarakat jawa masyhur dengan istilah ibarat wong mampir ngombe (seperti orang yang mampir minum).

Namun, sebagaimana yang kita saksikan hari ini, manusia lebih memprioritaskan kehidupan yang tampak di depan mata –walaupun fana- dibanding kehidupan di luar mata –walaupun abadi- terlebih tentang uang. Ia seolah-olah menjadi Tuhan yang bisa mengatur dan mengendalikan hidup manusia, tak sekedar menjadi alat tukar, tapi juga alat tengkar, di antara sesamanya.

Sebagai objek diturunkannya wahyu, penjelasan al-Qur’an atas keadaan manusia tentu sangat presisi dan faktual. Entah itu sebagai ketetapan atau sebagai sindiran (taubikh). Fenomenologi khas dan ciri sifat manusia disampaikan secara generik namun memiliki nilai diskursus yang, tidak hanya menampilkan fungsi hudan linnas saja, tetapi juga menunjukkan realitas praktis. Hal itu sebagaimana yang tertulis dalam Surah al-‘Alaq: 6-7 berikut:

  كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ  ٦ أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ  ٧

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, Karena dia melihat dirinya serba cukup.”

Jika kita memperhatikan klaim al-Qur’an atas sikap manusia sebagaiman tertulis di atas, terdapat sebuah pemahaman bahwa keadaan serba cukup membuat manusia menjadi keji. Baik disadari maupun tidak, secara sekejap maupun perlahan, dan tentatif maupun pasif, kenyataannya akan berujung pada apa yang oleh orang-orang istilahkan dengan “lupa daratan”.

Dalam tafsir Qur’an al-‘Adhim, Ibnu katsir menjelaskan bahwa manusia cenderung merasa sombong, angkuh dan melampaui batas ketika ia melihat dirinya dalam keadaan serba cukup dan bergelimang harta. Kedua, ia menambahkan, semakin banyak sesorang menghimpun harta, semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang nanti akan diajukan pada yaumul hisab, darimana kau kumpulkan hartamu?, dan untuk apa hartamu kau belanjakan?

Berbicara tentang bahaya harta, ingatan kita tak bisa terlepas dari cerita yang sering dikisahkan pada masa lalu. Ialah Tsa’labah Ibn Hathib al-Anshari, salah seorang sahabat Nabi yang diberi harta berlimpah, namun pada akhirnya ia dilaknat oleh Allah karena lupa dan ingkar.

Begitupun kisah pada masa yang jauh sebelum Tsa’labah, yakni pada zaman Nabi Musa a.s. Ialah  Qorun, bahkan ia dianggap paling pintar-pintar nya manusia pada saat itu (setelah sebelumnya dipegang oleh Nabi Musa dan Nabi Harun). Tak hanya dianugerahi kecerdasan saja, melainkan ia juga memiliki harta yang banyak dan tumpah ruah. Namun semua kelebihan itu justru membutakan mata hatinya, membuatnya berlaku sombong dan menolak kebenaran. 

Terlalu banyak kiranya, jika kita merefleksikan tentang kisah-kisah kaum terdahulu yang diberikan kelebihan serta serba kecukupan yang malah menjerumuskan dirinya, berpaling, kufur, dan terlaknat. Na’udzubillah..

Oleh karena itu, barangkali kita dengan kadar iman seperti ini rasanya belum siap menjadi orang berharta, yang dengan tetap mempertahankan ketakwaan kepada Sang Khaliq, tak berubah, apalagi dapat meningkatkan. Kurang dermawan apa Tsa’labah?, dan kurang alim apa Qorun? Namun ketika harta ada digenggaman mereka, semua kedermawaan dan kesalehan mereka luntur.  

Di ayat lain Allah juga memperingatkan manusia tentang bahaya harta: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian” (QS. at-Takatsur: 1).

Tak jarang kita mendengar seseorang, yang dengan alasan uang, ia sengaja membunuh tetangganya, karibnya, saudara kandungnya, bahkan orang tuanya. Harta membuat orang tak tahu “hitam dan putih”, baik dan buruk, benar dan salah, semua tertutup legam oleh kuasa harta.

Oleh karena itu ulama-ulama kita senantiasa memberi pesan dan mewanti-wanti kepada umat supaya tidak berambisi meminta kaya sebelum beraambisi menjadi orang yang sholeh. Karena kekayaan membuat seseorang lupa dan mudah melakukan segala yang diinginkan.

Kedua, para ulama selalu mendidik sederhana, menumbuhkan sifat qonaah, banyak bersyukur dan gemar membantu sesama. Hal itu bertujuan supaya umat terbiasa dan tertanam dalam pribadi mereka sifat-sifat terpuji yang akan membentengi mereka ketika suatu saat diuji dengan kelebihan harta.

Dalam hadis qudsi Allah telah berpesan kepada dunia:

يا دنيا من خدمني فاخدمه، ومن خدمك فاستخدمه

"Wahai dunia, jika manusia melayaniKu maka jadilah kau sebagai pelayannya. Tapi jika ia melayanimu, maka ambillah ia sebagai pelayanmu."

Semoga kita semua dijauhkan dari sifat-sifat kerakusan, diselamakan dari jurang penghambaan terhadap dunia, dan diberi rezeki yang membuat  kita semakin dekat dengan Allah. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNAIR: Kampus Impian Generasi Unggul dan Berintegritas