Keberagamaan di Tengah Keberagaman, Pentingnya Bersikap Moderat
Keberagamaan di Tengah Keberagaman, Pentingnya Bersikap Moderat
https://monitorday.com/menggagas-moderasi-keagamaan-yang-moderat
Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara
sangat positif dan optimistik. Menurut Islam seluruh manusia berasal dari satu
asal yang sama; Nabi Adam dan Hawa.
Meskipun dari nenek moyang yang sama, namun dalam perkembangannya
kemudian terpecah-pecah menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum, atau
berbangsa-bangsa, lengkap dengan segala kebudayaan dan peradaban khas
masing-masing (QS. Al-Hujurat:13).
Semua perbedaan yang ada selanjutnya mendorong mereka untuk saling
mengenal dan saling mengapresiasi satu sama lain. Iniah yang kemudian oleh Islam
dijadikan perspektif “kesatuan umat manusia” yang pada gilirannya akan
mendorong solidaritas antar manusia.[1]
Agama di dunia ini sebenarnya memiliki tugas yang yang sama, yaitu
untuk membangun kehidupan dan peradaban manusia yang lebih baik dan lebih
manusiawi.
Kita akui, hubungan antar umat beragama di Indonesia sejauh ini
memang tidak bisa lepas dari problem mayoritas dan minoritas. Di kalangan
mayoritas sering timbul perasaan tidak puas karena merasa terdesak posisi dan
perannya. Sedang dikalangan minoritas sering timbul ketakutan karena merasa
terancam eksistensi dan hak-hak asasinya.
Potensi ketidakharmonisan dalam konteks mayoritas-minoritas diatas
jika tidak bisa dieliminasi akan membawa implikasi dalam hubungan antar umat
berbagai agama, pergaulan masyarakat, dan bisa menggejala dalam berbagai bentuk
ketegangan.[2]
Hubungan
sosial membuka dua pilihan; harmoni atau konflik. Harmoni terbangun ketika
masing-masing pihak berusaha untuk saling memahami dan mengedepankan
toleransi., sehingga tercipta kehidupan yang penuh kedamaian.
Sebaliknya
konflik terjadi ketika masing-masing memegang kukuh kebenaran yang diyakininya
tanpa kompromi, melihat pihak lain sebagai lawan atau yang harus dikuasai, yang
harus ditundukkan. Jika masing-masing pihak memegang sikap destruktif semacam
ini, maka konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat untuk dihindari.
Perbenturan
kepentingan dan aroganisme menjadi sebab determinan lahir dan berkembangnya
sebuah konflik. Fenomena konflik berlatar belakang agama sesungguhnya
melahirkan paradoks dalam agama sendiri. Tidak ada satupun agama yang
mengajarkan kekerasan, penghancuran, dan kolonialisasi. Meskipun disatu sisi
agama membelah kehidupan menjadi dua kutub yang selalu berseberangan: benar dan
salah, hitam dan putih, gelap dan terang dan seterusnya.
Kompleksitas
semacam itu diperparah dengan realitas teks dasar agama ketika masuk dalam
wilayah interpretasi, dan muncul berbagai formula interpretasi, dari yang
sangat liberal, moderat hingga fundamental. Dengan demikian, persoalan yang
mendasar bukan hanya pada ajaran agamanya saja, tetapi pada wilayah
interpretasi terhadapa ajaran agama, apalagi wilayah interpretasi ini kemudian
diturunkan dalam kerangka operasioanal.
Dalam
kondisi semacam ini, maka hal mendasar yang penting untuk dilakukan adalah
membangun perspektif keberagaman yang lebih mempertimbangkan kedamaian dan
keterbukaan atau dalam istilah modern disebut
anthropocentric religion. Salah satu kunci yang banyak diusung
untuk tujuan ini adalah moderasi. Dengan demikian konsep moderasi memiliki
makna yang penting.
Kesadaran
moderasi adalah salah satu faktor yang akan mengantarkan kearah kehidupan
beragama yang damai dan saling menghargai
Konsep dan
Manifesto Moderasi
Diantara
persepsi yang berkembang adalah menyamakan pemahaman moderat dengan
relativisme, sehingga sikap moderat dinilai sebagai hal yang membahayakan
aqidah. Padahal moderasi bukanlah relativisme yang meletakkan kebenaran atau
sesuatu nilai pada pandangan hidup masyarakat.
Demikian
juga, ada yang menyamakan moderasi dengan sinkretisme. Padahal moderasi bukan
sinkretisme yang menciptakan agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu
atau sebagian unsur dari beberapa agama yang ada.[3]
Bahkan
lebih dari itu, moderasi hendaknya diletakkan diatas landasan komitmen yang
kukuh terhadap masing-masing agama yang dipeluk.dalam diskurusus moderasi pada gilirannya
nanti akan mengantarkan penganut agama kepada keimanan yang kukuh sekaligus
memiliki sikap toleransi yang signifikan terhadap antar atau intra penganut
agama.
Pemahaman
yang memadai dalam hal tersebut dapat membuat umat beragama mampu mengangkat
nilai-nilai holistik-transformatif yang terdapat pada ajaran dari masing-masing
agama.[4] Pemaknaan
semacam inilah yang dapat menjadi landasan dalam menciptakan relasi kehidupan
beragama secara harmonis.
Pun
demikian, bukan berarti sikap moderat terlalu toleran dan karenanya tidak
memiliki pendirian sama sekali. Moderasi meniscayakan keteguhan pendirian yang
diserti dengan ilmu pengetahuan dan tangung jawab.[5]
Deskripsi
ini memberikan kejelasan tentang apa dan bagaimana esensi moderasi. Realitas
kehidupan yang semakin kompleks seperti sekarang ini memunculkan beragam
persoalan yang silang sengkarut. Hal ini menuntut agar semua persoalan yang ada
dipecahkan bersama, termasuk oleh agama-agama dan semua penganut agama.[6]
Pada
titik inilah, pemahaman keagamaan yang moderat memiliki kontribusi konkret
dalam menumbuhkan toleransi dan saling memahami sehingga dapat menciptakan
kehidupan yang damai tanpa konflik dan kekerasan.
Oleh
karenanya, pemahaman yang utuh terhadap moderasi merupakan hal yang sangat
penting, karena moderasi yang diidealkan sebagai salah satu kunci bagi
terciptanya kerukunan hidup, ketika dipahami tidak sebagaiana konsep
sesungguhnya, justru akan terjatuh pada jurang perdebatan yang berkepanjangan
dan menimbulkan konflik baru.
[1] Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antaragama, Studi Atas
Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta: Bentang, 2000, hlm. 2.
[2] Greg Barton, Ph, D. Gagasan Islam Liberal di Indonesia,
Pemikiran Neo-Modernisme, Nurchilis Majid Djohan Effendy, Ahmad Wahab dan
Abdurrahman Wahid (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 24.
[3] Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 43.
[4] Ibid,
hlm 166
[5]
Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan,
Menjalin Kebersamaan (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 18.
[6] Th.
Sumarthana, “Kemanusiaan, Titik Temu Agama-Agama”, dalam Marthin L. Sinaga
(ed), Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga (Jakarta: Grasindo, 2000),
hlm. 35.
Komentar
Posting Komentar